Wednesday, September 19, 2012

Pengertian Semantik



Semantik, baru banyak dibicarakan orang ketika Chomsky sebagai tokoh linguistik transformasi mengungkapkan pentingnya makna dalam linguistik, dan menyatakan bahwa semantik adalah bagian dari tatabahasa. Komunikasi berbahasa hanya dapat berjalan dengan baik jika para pelaku komunikasi memahami makna yang disampaikan. Untuk itu, studi tentang makna (semantik) sudah selayaknya diperhatikan.
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema (katabenda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini adalah tanda linguistik (signe) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Jadi, setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan makna. Keduanya merupakan unsur dalam bahasa (intralingual) yang merujuk pada hal-hal di luar bahasa (ekstralingual).
Pada perkembangannya kemudian, kata semantik ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. (Chaer, 1995).
Sebagai studi linguistik, semantik tidak mempelajari makna-makna yang berhubungan dengan tanda-tanda nonlinguistik seperti bahasa bunga, bahasa warna, morse, dan bahasa perangko. Hal-hal itu menjadi persoalan semiotika yaitu bidang studi yang mempelajari arti dari suatu tanda atau lambang pada umumnya. Sedangkan semantik hanyalah mempelajari makna bahasa sebagai alat komunikasi verbal.
Mengkaji makna bahasa (sebagai alat komunikasi verbal) tentu tidak dapat terlepas dari para penggunanya. Pengguna bahasa adalah masyarakat. Oleh karena itu studi semantik sangat erat kaitannya dengan ilmu sosial lain, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan filsafat.

Jenis-jenis Makna

Pembicaraan tentang jenis makna dapat menggunakan berbagai kriteria atau sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, makna dapat diklasifikasikan atas makna leksikal dan gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan istilah atau makna khusus dan umum. Agar lebih jelas Anda dapat memperhatikan tabel berikut ini.
SUDUT PANDANG
JENIS MAKNA
1. jenis semantik
makna leksikal dan gramatikal
2. referen
makna referensial dan nonreferensial
3. nilai rasa
makna konotatif dan denotatif
4. ketepatan makna
makna kata dan istilah
makna khusus dan umum

Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem atau bersifat kata. Karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai referennya, makna sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam hidup kita. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.
Referen, adalah sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh suatu kata. Bila suatu kata mempunyai referen, maka kata tersebut dikatakan bermakna referensial. Sebaliknya, jika suatu kata tidak mempunyai referen maka kata tersebut bermakna nonreferensial.
Sebuah kata disebut bermakna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi atau disebut netral.
Makna denotatif sebenarnya sama dengan makna referensial. Makna ini biasanya diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan) atau pengalaman lainnya. Pada dua kata yang bermakna denotasi sama dapat melekat nilai rasa yang berbeda sehingga memunculkan makna konotasi.
Jika suatu kata digunakan secara umum maka yang muncul adalah makna kata yang bersifat umum, sedangkan jika kata-kata tersebut digunakan sebagai istilah dalam suatu bidang maka akan muncul makna istilah yang bersifat khusus. Istilah memiliki makna tetap dan pasti karena istilah hanya digunakan dalam bidang ilmu tertentu.

Relasi Makna dan Perubahan Makna

Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan ini dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna (homonimi), ketercakupan makna (hiponimi), dan ambiguitas.
Secara harafiah, kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama. Sedangkan Verharr secara semantik mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Verhaar, 1981).
Sinonimi dapat dibedakan atas beberapa jenis, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Yang harus diingat dalam sinonim adalah dua buah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) sebenarnya tidak memiliki makna yang persis sama. Menurut Verhaar yang sama adalah informasinya. Hal ini sesuai dengan prinsip semantik yang mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Selain itu, dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang bersinonim belum tentu dapat dipertukarkan begitu saja
Antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma yang berarti nama, dan anti yang berarti melawan. Arti harfiahnya adalah nama lain untuk benda lain pula. Menurut Verhaar antonim ialah ungkapan (biasanya kata, frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.
Polisemi adalah satuan bahasa yang memiliki makna lebih dari satu. Namun sebenarnya makna tersebut masih berhubungan. Polisemi kadangkala disamakan saja dengan homonimi, padahal keduanya berbeda. Homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan homos yang berarti sama. Jadi, secara harafiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda lain’. Secara semantis, Verhaar mendefinisikan homonimi sebagai ungkapan (kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi berbeda makna.
Kata-kata yang berhomonim dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu: Homonim yang: (a) homograf, (b) homofon, dan (c) homograf dan homofon.
Kata hiponimi berasal dari Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma ‘nama’ dan hypo’di bawah’. Secara harfiah hiponimi berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain (Verhaar, 1993). Secara semantis, hiponimi dapat didefinisikan sebagai ungkapan (kata, frase, ata kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna ungkapan lain.
Istilah ambiguitas berasal dari bahasa Inggris (ambiguity) yang menurut Kridalaksana berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti (Kridalaksana, 1982).Ambiguitas dapat terjadi pada komunikasi lisan maupun tulisan. Namun, biasanya terjadi pada komunikasi tulisan. Dalam komunikasi lisan, ambiguitas dapat dihindari dengan penggunaan intonasi yang tepat. Ambiguitas pada komunikasi tulisan dapat dihindari dengan penggunaan tanda baca yang tepat. Makna-makna dalam bahasa Indonesia dapat mengalami perubahan makna, seperti perluasan makna, penyempitan makna, penghalusan makna, dan pengasaran makna.

Daftar Pustaka
  • Chaer, Abdul. (1990). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
  • ______. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Djajasudarma, T. fatimah. (1993). Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Eresco
  • Kridalaksana, Harimurti. (1988). Kamus Sinonim Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
  • Pateda, Mansur. (1986). Semantik Leksikal. Ende Flores: Nusa Indah.
  • Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Slametmulyana. (1964). Semantik. Jakarta: Jambatan.
  • Soedjito. (1988). Kosakata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Verharr, J.W.M. (1993). Pengantar Linguistik I. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

No comments:

Post a Comment